Oleh Prof. Dr. Hadi S. Alikodra
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
Sumber
http://www.sinarharapan.co.id/Kerusakan lingkungan di Irak dalam arti yang sebenar-benarnya karena menyangkut kerusakan fisik, psikis, mental, maupun moral akibat perang sungguh mengerikan. Secara fisik, orang bisa menghitung berapa jumlah korban manusia yang tewas, bangunan yang rata dengan tanah, hilangnya suplai air bersih, matinya arus listrik, dan lain-lain. Secara psikis, trauma perang yang terus menimpa rakyat Irak sejak 1970-an (sejak Perang Irak-Iran, Irak-Kuwait-Sekutu, Irak-Sekutu) akan menimbulkan persoalan yang serius di masa depan. Secara mental, rakyat Iran mengalami luka yang dalam, dan secara moral rakyat Irak menderita kerusakan. Penjarahan yang terjadi pasca-kejatuhan Baghdad sampai hari-hari ini di berbagai kota di Irak menunjukkan betapa tingkat kerusakan mental dan moral rakyat Irak akibat perang.
Terlepas dari keberhasilan Sekutu menumbangkan Saddam Hussein, invasi AS-Inggris terhadap Irak yang menewaskan ribuan warga sipil tak berdosa hanya dalam tiga pekan tersebut, jika kita melihat dari perspektif tersebut di atas, jelas merupakan tragedi lingkungan hidup yang amat dahsyat.
Jika bencana alam terjadi secara tak sengaja akibat perbuatan manusia yang mengabaikan aspek lingkungan hidup, maka perang merupakan ”bencana” yang dengan sengaja dilakukan manusia untuk memenuhi ambisi kebina-tangannya.
Tragedi perang Irak, misalnya, tidak perlu terjadi seandainya semua pihak yang bertikai lebih mengedepankan dialog dan solusi damai – betapa pun lama dan melelahkan.
Dalam setiap problem, betapa pun besarnya, kata Dale Carnagie, pasti ada celah untuk memecahkannya. AS tampaknya tidak mau mencari celah itu. Dia lebih suka menggunakan kekerasan untuk memecahkan krisis tersebut tanpa mengindahkan korban-korban manusia dan alam yang tak berdosa.
Melihat kebrutalan tentara Sekutu dalam invasi ke Irak di layar kaca, jika kita memandangnya dari aspek lingkungan hidup, sungguh peristiwa itu merupakan tragedi lingkungan hidup yang tiada tara besarnya. Jumlah korban tewas dan terluka yang mencapai puluhan ribu orang –baik dari kalangan militer maupun sipil– sebetulnya menandakan bahwa perang merupakan penyebab kerusakan lingkungan yang paling mendasar. Dikatakan paling mendasar karena sasaran perang adalah matinya manusia yang disengaja dengan menggunakan senjata hasil aplikasi pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan manusia sendiri.
Padahal, ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dikembangkan manusia untuk memperbaiki kehidupan di muka bumi. Kesejahteraan umat manusia di bumi seharusnya menjadi fokus utama pengembangan ilmu dan teknologi, tanpa kecuali.
Dalam perang, apa pun alasannya, yang terjadi justru sebaliknya. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sarana dan alat untuk menghancurkan manusia dan alam.
Dalam perang Vietnam, misalnya, tentara AS yang terkenal dengan senjata-senjata pemusnah massalnya, telah membunuh sedikitnya setengah juta warga sipil. Kerusakan alam dan lingkungan akibat perang Vietnam sangat dahsyat. Jutaan hektar hutan terbakar bom Napalm yang terkenal daya rusak dan panasnya.
Dalam Perang Teluk Pertama, 1991, ketika AS mengusir Irak dari Kuwait, korban manusia dan alam juga amat besar. Begitu pula dalam Perang Teluk Kedua, 2003, korban manusia dan lingkungan hidup amat dahsyat. Ratusan miliar dolar AS dihamburkan untuk saling membunuh.
Biaya perang itu sungguh amat besar bila dibandingkan dengan bantuan internasional atau kontribusi AS untuk program bantuan pa-ngan negara-negara miskin, pemberantasan penyakit menular, langit biru (pengurangan pencemaran udara), reboisasi hutan gundul, dan lain-lain, yang manfaatnya dirasakan langsung seluruh umat manusia. Sungguh ironis, Sekutu mau mengeluarkan dana sangat besar untuk penghancuran manusia; sementara untuk penyelamatan manusia mereka hanya mau mengeluarkan uangnya amat sedikit dan itu pun tersendat-sendat.
Alasan Sekutu bahwa invasi ke Irak untuk membebaskan rakyat dari penindasan Saddam terkesan mengada-ada. Sepintas logika Bush tersebut sangat elegan, membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Saddam Hussein. Tapi kenyataan di lapangan ibarat ”jauh panggang dari api”.
Kenapa tentara AS menembak kendaraan warga sipil yang tengah mengungsi menghindari perang? Kenapa tentara AS mengebom rumah sakit? Kenapa tentara AS menghancurkan hotel yang dihuni para wartawan dan orang asing yang jelas-jelas bukan tentara Irak? Pertanyaan-pertanyan ini sekadar ingin membalik logika elegan Bush tadi.
Banyaknya korban sipil, baik yang sengaja dibunuh tentara Sekutu maupun terkena reruntuhan gedung yang dibom, menggambarkan kepada kita betapa invasi AS ke Irak sebetulnya punya tujuan yang lain, yaitu memenuhi ambisi AS untuk menguasai dunia. Jika sudah demikian, AS memang tidak akan peduli lagi siapa korban senjatanya, yang penting tujuan hegemoniknya tercapai.
Kini situasi di Irak pascapendudukan Baghdad kacau-balau. Hukum tidak ada lagi. Tentara Sekutu membiarkan rakyat menjarah harta benda orang lain. Ini menunjukkan, Sekutu tidak bertanggung jawab terhadap keamanan negara yang dikuasainya. Sangat berbeda dengan penaklukan Makkah (Fatkhu Makkah) oleh tentara Islam 15 abad lalu, di mana pimpinannya Muhammad SAW mengingatkan tentara Islam untuk menjaga ketertiban hukum di wilayah yang dikuasainya.
Jangankan menjarah barang orang lain, Muhammad bahkan melarang tentara Islam membunuh binatang dan menebang pohon di wilayah yang ditaklukkannya.
Dari gambaran itu, kita melihat betapa rendahnya moralitas tentara Sekutu di Irak. Kita tidak bisa banyak berharap dari sebuah pasukan pendudukan yang bermoral buruk untuk membangun kembali wilayah yang ditaklukkannya.
Jangankan mau memperbaiki lingkungan hidup yang rusak akibat bombardemen senjatanya, menjaga ketertiban manusia di wilayah pendudukannya saja tak dilakukannya.
Walhasil, apa yang dapat digambarkan dari semua itu: Sekutu memang ingin menghancurkan Irak, baik fisik maupun mentalnya, baik hardware maupun software-nya – untuk kemudian ”dibangun kembali” setelah Irak benar-benar berada dalam genggamannya secara total. Memang itulah tujuan invasinya.
Dari paparan di atas, kita bisa melihat bagaimana masa depan Irak. Sebuah negeri petrodolar yang kelak menjadi ”boneka” AS. Belajar dari pengalaman, adakah negara boneka yang kekayaannya terus-menerus disedot akan berhasil dalam membangun rakyatnya? Sejarah telah membuktikan rapuhnya rezim Syah Reza Pahlevi di Iran – negeri boneka AS saat itu.
Bukan tidak mungkin Irak di masa depan juga akan mengalami problem seperti itu. Negeri boneka biasanya lebih mementingkan ”kesejahteran bosnya” ketimbang rakyatnya. Rezim Irak masa depan akan lebih tunduk pada kepentingan AS ketimbang kepentingan rakyatnya. Dan itu merupakan akar ”kerusakan lingkungan” yang berikutnya bagi Irak.
Lantas bagaimana PBB? Di zaman Syah Iran pun, PBB sudah ada. Tapi, keberadaannya tidak menyelesaikan masalah sampai akhirnya rakyat Iran di bawah pimpinan Imam Khomeini merobohkan Syah Iran. Begitu pula tampaknya rezim boneka Irak di masa datang. Penyelesaian ala Sekutu di Irak pasca-Saddam hanya akan menambah dendam rakyat Irak, baik terhadap rezim boneka maupun AS. Dalam masyarakat seperti itu jangan berharap akan ada perbaikan lingkungan hidup.
Sebuah negeri yang dieksploitasi besar-besaran untuk sebuah kepentingan kapitalisme, niscaya akan mengabaikan problem lingkungan hidup. Investasi yang mahal untuk perbaikan lingkungan hanya dianggap pemborosan. Apalagi kekayaan Irak diperoleh dari perut bumi yang tak ada hubungan langsung dengan kelestarian alam.
Semoga gambaran suram tersebut tidak terjadi! Irak akan dapat memecahkan masalahnya secara independen dan kembali menjadi pusat peradaban dunia seperti masa lalunya. Mudah-mudahan!