Kekhawatiran Menghidupkan Kembali Dwifungsi ABRI melalui Revisi UU TNI

JAKARTA, Perubahan UU Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang saat ini dibahas diprediksi sejumlah kalangan bisa membangkitkan kembali konsep dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI.

Sebab itu, perubahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan mengembangkan posisi dalam kementerian dan institusi yang bisa diambil alih oleh prajurit berstatus aktif TNI. Hal tersebut dilihat oleh sebagian orang sebagai indikasi kebangkitan lagi dari dwifungsi TNI.

Maka, pengertian sesungguhnya dari dwifungsi TNI itu apa?

Sejarah Dwifungsi

Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah suatu ideologi serta keputusan pemerintah yang menetapkan peran ABRI di dalam struktur hidup berbangsa dan bermasyarakat. Konsep ini mencakup dua fungsi utama bagi institusi militer tersebut dalam sistem negara.

Dwifungsi ABRI berarti bahwa ABRI mempunyai dua peran yakni, peran sebagai angkatan bersenjata nasional Indonesia serta peran dalam penguasaan dan tata kelola negara.

Kebijakan Dwifungsi ABRI diberlakukan saat era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto yang berlangsung selama 32 tahun.

Dikutip dari buku Pahlawan dan Tentara: Pengertian serta Penerapan DWIFUNGSI ABRI (1984) karangan Arifin Tambunan bersama teman-temannya, di era Orde Baru TNI/AD bertindak secara ganda sebagai pendorong serta pemelihara stabilitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Implementasi ide Dwifungsi ABRI tak bisa dilepaskan dari sejarah pertumbuhan struktur militer di Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, para perwira militer meyakini bahwa mereka berhak setara dengan warga sipil dalam menetapkan kebijakan serta melaksanakan pembangunan nasional.

Berdasarkan jurnal Kebijakan Dua Fungsi TNI dalam Peningkatan Peranan Militer pada Sektor Sosial danPolitik dari Tahun 1966 hingga 1998 (2016), hasil karya D.W Firdaus, ide Dwifungsi ABRI selama era Pemerintahan Orde Baru berasal dari pemikiran A.H Nasution dan dikenal sebagai konsep solusi menengah atau jalan tengah.

Ide pokok dari pendekatan ini adalah agar militer bertindak sebagai instrumen untuk mempertahankan keamanan nasional sambil juga terlibat di ranah ideologi, politik, ekonomi, sosial, serta budaya.

Seiring berjalannya waktu, ide jalan tengah yang dikemukakan oleh A.H Nasution digunakan oleh Soeharto melalui kebijakan Dwifungsi ABRI.

Penerapan Dwifungsi

Dwifungsi ABRI memang sudah mulai dijalankan dari awal masa Orde Baru, tetapi baru disahkan oleh Soeharto pada tahun 1982 berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982.

Implementasi dwifungsi ABRI selama era Orde Baru memberikan dampak yang signifikan terhadap situasi sosial-politik di Indonesia.

Dengan menerapkan kebijakan Dwifungsi ABRI, angkatan bersenjata tersebut sukses mengontrol kedaulatan institusi eksekutif dan legislatif pada masa Orde Baru.

Sejak dekade 1970, sejumlah besar perwira berstatus aktif dari ABRI diangkat menjadi anggota DPR, MPR serta DPD tingkat provinsi.

Di samping itu, anggota ABRI juga memegang peran signifikan dalam mengarahkan jalannya politik di organisasi Golkar.

Efek dari sistem dwifungsi ABRI tersebut adalah pengurangan alokasi warga sipil dalam sektor pemerintahan akibat kehadiran banyak anggota militer yang menguasai posisi politik.

Ini membuat sistem pemerintahan di Indonesia saat itu kurang terbuka dan jelas.

Titik tertinggi dari periode emas dwifungsi ABRI berada di dekade 1990-an, ketika personel ABRI memiliki peran penting dalam bidang pemerintahan, meliputi posisi seperti bupati, walikota, pejabat provinsi, duta besar, kepala badan usaha milik negara, pengadilan, sampai menteri yang ada di kabinet Soeharto.

Partisipasi militer dalam dinamika sosio-politis yang makin luas membuatnya beralih fungsi sebagai instrumen pendukung kekuatan rejim demi memvalidasi keputusan pemerintahan.

Kekuasaan yang dimiliki oleh angkatan bersenjata turut mengakibatkan penyelewengan hak asasi manusia yang berakhir dengan kericuhan.

Dwifungsi hidup lagi?

Saat gelombang Reformasi mencapai puncaknya pada tahun 1998, Dwifungsi ABRI menjadi fokus utama dari perubahan tersebut, selain juga untuk menyingkirkan pengaruhPresiden Suharto yang telah bertahan selama 32 tahun.

Setelah Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, fungsi ganda ABRI secara bertahap dimulai untuk dibatalkan dengan menarik tentara keluar dari berbagai posisi sipil yang mereka tempati selama masa pemerintahan Orde Baru.

Meskipun demikian, sekitar 27 tahun setelah Orde Baru roboh, ketakutan terhadap adanya kembalinya peran ganda ABRI atau TNI malah mulai timbul lagi.

Sehubungan dengan itu, rancangan perubahan Undang-Undang Tentang TNI berniat mengembangkan jumlah kementerian serta badan negara di mana personel aktif militer bisa ditugaskan, yaitu dari sembilan belas instansi akan ditingkatkan menjadi dua puluh lima instansi.

Menurut Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), terdapat sepuluh kementerian atau lembaga di mana personel TNI bisa bertugas, yaitu Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Sekretaris Militer bagi Presiden, Pertahanan Negara, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Pencarian dan Rescuen (Search And Rescue/SAR) Nasional, Biro Narkotika Nasional, serta Mahkamah Agung.

Akan tetapi, seiring berjalannya revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, jumlah jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit aktif meningkat menjadi 16.

Terdapat lima kementerian atau lembaga ekstra yang termasuk dalam rancangan perubahan Undang-Undang Tentang TNI, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, serta Kejaksaan Agung.

Baru-baru ini, telah ditambahkan sebuah institusi lain di mana anggota TNI aktif bisa berpartisipasi, yaitu Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menyebutkan bahwa pengambilan keputusan untuk menambah BNPP dalam daftar kementerian atau lembaga yang dapat ditempati oleh prajurit TNI aktif adalah hasil dari diskusi kelompok kerja Rancangan Undang-Undang Tentang TNI pada hari Sabtu tanggal 15 Maret 2025 di Jakarta.

"Sebab menurut aturan dari Presiden tersebut serta pernyataannya, BNPP yang memiliki batas wilayah rentan sebenarnya telah disediakannya personel TNI untuk ditugaskan," jelas Hasanuddin, dilaporkan Antara , Sabtu.

Berdasarkan revisi UU TNI itu, prajurit TNI aktif tidak harus mundur dari kepegawaian apabila menduduki posisi di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah tersebut.

Lebih baru Lebih lama