Waktunya Berlalu: Tanah Abang Hanyalah Kenangan

JAKARTA, - Tanah Abang, pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara, sempat dipadati oleh massa sekitar waktu mendekati Idul Fitri.

Ribuannya konsumen berkumpul, bersaing dan bercampur aduk dalam upaya mendapatkan pakaian terpilih untuk perayaan kemenangan tersebut.

Namun saat ini, atmosfer tersebut telah meredup, digantikan oleh koridor-koridor sepi serta wajah para pedagang yang penuh dengan ketakutan.

Edo (35), seorang pedagang lama di Pasar Tanah Abang, merenungi nafas panjang ketika memikirkan perayaan Idul Fitri dari beberapa tahun lampau.

"Di tahun sebelumnya, para pembeli seperti melakukan tawaf karena jarak antar mereka hanya setengah langkah. Sangat padat dan penuh sekali," terang Edo ketika dijumpai pada hari Sabtu, 15 Maret 2025.

Pada masa lalu, Edo biasanya mendengarkan sorak-sorai semangat para pembeli wanita yang bersaing untuk memperoleh pakaian berkualitas tertinggi.

"Ungkapnya begitu, 'Buat saya, untuk saya!'" dia merenungkan.

Sekarang, suara tersebut hampir sirna, digantikan oleh keheningan yang bergelayut di angkasa.

Banyaknya pembeli menurun secara signifikan, kurang sekitar 50 persen dibandingkan dengan tahun kemarin.

Biasanya dapat menangani 150 orang per hari, namun saat ini jumlah tersebut telah berkurang menjadi setengahnya.

"Jumlah pembeli berkurang menjadi setengah dibandingkan tahun lalu dengan hari biasa dapat menyentuh kisaran 150 orang," kata Edo

Novi, sesama penjual di Tanah Abang, juga ikut menikmati keheningan yang menyelimuti daerah tersebut.

"Bila tahun kemarin, dari pagi hingga petang orang-orang sangat padat. Kini, hanya ramai selama dua jam saja, selebihnya menjadi sunyi," katanya sambil menunjukkan tatapan yang penuh kekecewaan.

Saya sangat mengingat dengan jelas bahwa mulai pukul 07.00 pagi sampai 17.00 sore, tidak ada satupun waktu yang lowong di tengah keramaian para pembeli.

Kini, kerumunan orang tersebut telah menghilang, meninggalkan jalanan sepi dan kosong. Keheningan para konsumen ini mempengaruhi penerimaan yang anjlok secara signifikan.

Novi mengatakan bahwa dia berhasil mendapatkan pendapatan sampai Rp 10 juta per hari tahun lalu, tetapi saat ini jumlahnya telah berkurang menjadi setengah dari itu.

"Kini sekitar Rp 5 juta. Bahkan itu hanya jika kondisinya baik," katanya dengan kesal.

Di samping itu, Atun (48), seorang pedagang lainnya menyatakan bahwa penghasilannya menurun sampai 75 persen.

"Sebelumnya bisa puluhan juta per bulan, namun saat ini sangat berkurang, hampir 75 persennya telah menurun," ujar Atun.

Keberadaan toko online dinilai sebagai tantangan tersendiri untuk para pedagng di Pasar Tanah Abang.

Atun menyatakan bahwa dia kerap mendengar para pembeli membanding-bandingkan harga pakaian di pasarpada dengan yang ada di e-commerce.

"Menurut mereka, yang online harganya lebih murah. Namun, ternyata mutu dan ukuran berbeda," kata Atun.

Pasar Tanah Abang saat ini tidak lagi menjadi tempat sibuk menjelang Lebaran sebagaimana dulu.

Para pedagang tetap bertahan, bergantung pada harapan bahwa suatu keajaiban akan muncul dan memulihkan kemakmuran mereka.

Meskipun demikian, seiring perekonomian yang semakin merosot dan kompetisi dari toko daring yang makin sengit, keramaian di Tanah Abang hanya menjadi kenangan belaka.

Apakah pasar ini akan berubah ramai seperti sebelumnya? Atau mungkin kesunyian bakal tetap menemani para pedagang di sudut-sudut pasar yang perlahan-lahan kosong?

(Reporter: Rachel Farahdiba R, Febryan Kevin Candra Kurniawan | Editor: Abdul Haris Maulana)

Lebih baru Lebih lama