Kesulitan Pemahat Ukiran Bali di Banyuwangi: Tantangan Regenerasi Seni Tradisional

BANYUWANGI, - Pada teras Bale Banjar Ramayana yang berlokasi di Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, Jawa Timur, seorang pria sedang duduk.

Tanpa mengeluarkan suara atau ekspresi wajah, lelaki itu fokus pada sebuah karton yang sedang diaukir dengan desain khas dari Bali.

Dia adalah Kayan Eka Mahardika, seorang seniman pematung ukir dari Bali yang berasal dari masyarakat lokal di desa tersebut.

Saat ini dia sedang mengerjakan ukiran guna mempersiapkan acara ogoh-ogoh yang akan diselenggarakan satu hari sebelum Hari Nyepi tanggal 29 Maret nanti.

"Saya memulai kegemaran dalam seni ukir Bali kira-kira antara tahun 2002-2003 ketika aku baru saja menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah pertama," jelas Kayan pada hari Minggu, tanggal 16 Maret 2025 yang lalu.

Lelaki yang berumur 38 tahun itu bercerita tentang usahanya dalam menekuni bidang tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMP, ia pindah dari Banyuwangi menuju pulau Bali guna menguasai seni ukir khas Pulau Dewata tersebut.

Pilihan itu diambil lantaran dia menganggap telah menjumpai passion -Ya yang berminat di bidang itu. Sejak masih anak-anak, ia mengatakan sudah mulai terpikat dengan seni ukir khas Bali.

“Ingin bisa ngukir Kayan menjelaskan, "Sejak kecil saya sering melihat para pembuat ukiran di Bali membangun Pura, jadi hal itu menjadi inspirasi bagi saya."

Dia secara tekun menuntaskan semua aspek yang diperlukan, berawal dari menghapalkan istilah peralatan, merancang pola dan sketsa, sampai menciptakan kondisi mental yang bakal sangat mendukung output karyanya.

Akhirnya, dia sekarang dapat membuat beragam produk menggunakan berbagai bahan, termasuk kertas, kayu, sampai kulit sapi, seperti wayang dan barong yang tidak hanya memiliki nilai jual tetapi juga melestarikan peninggalan budaya nenek moyang mereka.

Sulit regenerasi

Namun saat ini, Kayan terpaksa menghadapi realitas sebagai satu-satunya pengerajin Bali yang masih bertahan di Banyuwangi, dan ia merasakan kesulitan dalam proses pembinaan generasi muda.

"Macam-macam ukiran mungkin berlimpah, namun khususnya ukiran dari Bali hanyalah hasil kerja saya dan belum ada penerus yang berkembang di bawah sayapku," jelas Kayan.

Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah pola pikir yang berbeda.

Pemuda masa kini dianggap menginginkan pendapatan cepat, sedangkan seni ukir Bali dikatakan memerlukan kesabaran.

Memerlukan tahapan pembelajaran yang harus dijalani selama bertahun-tahun, kemudian disusul oleh serangkaian proses berikutnya, termasuk memahami alat-alat tersebut, merancang pola ukirannya, dan pada akhirnya menciptakan sebuah karya.

Di masa mendatang, untuk generasi muda, dia menginginkan agar nantinya para pembuat ukiran Bali di Banyuwangi dapat dengan cepat melaksanakan proses penerusannya.

"Saya berharap generasi muda tidak melupakan seni budaya kami. Bahkan patung ini juga dapat memberikan pendapatan loh," ujar Kayan menyampaikan pesannya.

Lebih baru Lebih lama