5 Film Bersejarah dari PFN: Pengkhianatan G30S/PKI dan Karya-karyanya Lainnya

, Jakarta - Produksi Film Negara ( PFN ) sebagai bagian dari industri perfilman negeri berperan penting dalam menghasilkan karya layar lebar yang bertujuan untuk hiburan dan pendidikan. Di samping itu, perusahaan pembuatan film lokal ini turut mempromosikan warisan budaya Indonesia. Berikut lima judul film yang telah dihasilkan oleh PFN.

1. Menuju Pelaminan

Film yang pembuatannya di mulai pada November 2024 ini bertujuan untuk mendukung promosi wisata Indonesia yang terkenal akan keindahan alamnya. Selain itu film tersebut menyajikan kisah yang seru dan menghibur sambil mencerminkan nilai-nilai budaya yang otentik, sehingga dapat menarik minat para penonton dengan beragam latar belakang.

Film Menuju Pelaminan Menceritakan perkawinan antara dua pasangan yang masing-masing berasal dari budaya Jawa dan Minang. Lewat petualangan kedua keluarga dalam mencerna perbedaan dan merancakkan persaudaraan, film tersebut menghadirkan kisah bernilai mendalam dan menyentuh hati, sambil menyampaikan pesan akan esensialnya toleransi, pemahaman, dan kerjasama di tengah-tengah kehidupan sehari-hari.

Dengan menggunggah pesona wisata Indonesia, FPN menetapkan tempat pengambilan gambar di Yogyakarta dan Padang, kedua kota ini kental dengan warisan budaya serta keelokan panorama Alamnya.

2. lagu cinta buat mama

PFN berkolaborasi pula dengan beberapa studio pembuat film, termasuk Dewa Film Production. Salah satu proyek mereka yakni film garapan sutradara Hasto Broto dan produser Kevin J Permana, membahas tentang semangat juang serta kerohanian seorang ibu dalam kisah yang amat memberikan motivasi dan mencapai sisi emosional penonton. Dengan sinergi tersebut, PFN bertujuan memperkokoh jalannya pendistribusian film lokal ke semua gerbang teater tanah air, agar karya-karya unggul layaknya "Lagu Cinta untuk Mama" bisa dirasakan banyak orang.

PFN bertujuan untuk menggenjot pemahaman dan penerimaan publik atas film tanah air, sambil merambah lebih jauh ke dalam lingkar peredaran dan dampak dari produksi-produksi bioskop lokal baik di skena perfilman domestik maupun global. Kerjasama tersebut pun mencerminkan janji PFN guna mensupport dan menjaring popularitas bagi buatan-buatannya para sutradara asli Nusantara, dengan harapan bisa memberdayakan standarnya menjadi lebih tinggi lagi sekaligus melipatgandakan jumlah output sinema Indonesia tiap tahunnya.

3. Kereta Api Terakhir

Film Kereta Api Terakhi yang dihasilkan pada tahun 1981 oleh Produksi Film Negara adalah salah satu produksi epik yang menampilkan sekitar 15 ribu aktor. Cerita dalam film ini berkisah tentang pertempuran selama revolusi antara tahun 1945 hingga 1947, dengan latar belakang adaptasi dari buku karangan Pandir Kelana. Di tahun 2019, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Perfilman (Puspemfilm) di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah merestorasi film ini guna melestarikan serta mempromosikan lagi keberadaan cagar budaya tersebut bagi anak muda jaman modern saat ini.

4. Seribu Payung Hitam dan Selebihnya Menjadi Kehilangan

Studio Denny JA berkolaborasi dengan PFN dalam menghasilkan sebuah film layar lebar yang didasarkan pada puisi esai bertajuk tersebut. Seribu Payung Hitam dan Selebihnya Menjadi Kehilangan Film ini adalah hasil adaptasi dari puisi esai karangan Denny JA dengan judul "Kutunggu di Setiap Kamis," yang bercerita tentang seorang wanita muda yang terus menantikan kepulangan suaminya yang hilang selama peristiwa tahun 1998. Kerjasama tersebut mencatatkan tonggak penting dalam industri perfilman karena memperkenalkan konsep mengubah puisi esai menjadi sebuah film, sehingga membuka peluang lebih luas bagi karya-karya puisi esai lainnya untuk juga diproduksi sebagai tontonan bioskop.

5. Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI

Salah satu produksi terkenal dari PFN adalah salah satunya yaitu film tersebut. Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI Film ini menampilkan kejadian Peristiwa G30S/PKI dan sudah menjadi bagian penting dalam industri perfilman di Indonesia. Tidak hanya itu, bahkan Brigade Jenderal Gufron Dwipayana saat itu turut bertanggung jawab atas pembuatan film tersebut, dia pada masa itu mempunyai hubungan erat dengan Presiden Soeharto.

Tempo pernah melakukan sebuah polling yang melibatkan 1.100 siswa SMA di Surabaya, Medan, dan Jakarta. Berdasarkan hasil survei tersebut, terlihat bahwa mayoritas merasa PKI harus ditolak. Lebih dari setengah peserta menjawab bahwa lebih baik komunisme tidak diajarkan dalam kurikulum akademis. Selain itu, mereka juga mendukung pembatasan distribusi buku-buku tentang ideologi komunis.

Lebih baru Lebih lama