Ekologi & Lingkungan Hidup: Budaya Bersepeda di Negara Maju, Cermin Perilaku yang Ramah Lingkungan

Advertisement


Sumber :
Pikiran Rakyat Bandung/Senin, 08 September 2003
PACIFIC FRIEND MAGAZINE
Artikel oleh Hisashi Kondo, judul asli LEAN, CLEAN AND GREEN
Terjemahan & adaptasi bahasa oleh Suksma Ratri Pujasaputra

Sehat dan ramah lingkungan, begitulah benda ini digambarkan di Negeri Sakura. Sepeda dinilai sangat cocok dipakai kota-kota di Jepang, mengacu kepada motto “eco cycle city” yang mulai digalang pemerintah Jepang dalam rangka mempromosikan program ramah lingkungan. Menurut sebuah pepatah Jerman “sebuah sepeda jauh lebih baik daripada satu truk obat-obatan”. Dengan mengendarai sepeda, kesehatan kita akan terjaga dan tidak memerlukan obat-obatan. Setelah riset dan penelitian dilakukan kepada warga yang biasa menggunakan mobil atau kereta, banyak orang terkesima dengan kemajuan kesehatan yang mereka dapatkan sejak beralih mengendarai sepeda setiap hari. Mereka semua setuju bahwa latihan cara baru tersebut telah membuat mereka merasa lebih fit dan segar.

Sepeda baik untuk kesehatan kita, juga baik untuk kenyamanan kota, kenyamanan global dan pemeliharaan lingkungan. Sepeda tidak menghasilkan gas karbon monoksida maupun karbon dioksida, tidak mencemari udara maupun lingkungan serta tidak menyebabkan kemacetan arus lalu lintas. Karena sepeda dioperasikan oleh otot tubuh manusia, maka tidak diperlukan konsumsi bahan bakar berupa bensin ataupun solar. Untuk masalah kenyamanan, sepeda merupakan metode transportasi door-to-door yang canggih. Sepeda telah secara nyata memberikan kenaikan perhatian terhadap isu-isu global lingkungan hidup, sebagai alat transportasi yang ramah lingkungan dan paling cocok untuk kota besar. Tak heran bila kemudian sepeda mulai dipilih dan digunakan sebagai alternatif di luar penggunaan mobil. Beberapa tahun belakangan ini di Jepang telah terjadi perubahan besar menyangkut penggunaan sepeda.

Proses perubahan ini dimulai dengan diselenggarakannya The International Conference on Global Warming di Kyoto pada tahun 1997. Saat itu, pemerintah Jepang menjanjikan penurunan sebanyak 6% atas produksi karbon dioksida dan emisi gas buang lainnya. Secara alamiah hal tersebut memacu kenaikan atas pentingnya peran sepeda sebagai “Green Vehicle” atau kendaraan ramah lingkungan yang tidak memerlukan bahan bakar minyak dan tidak menghasilkan emisi gas buang apapun. Pada tahun berikutnya, rancangan utama pemerintah untuk negara tersebut yang disebut sebagai The 5th Comprehensive National Development Plan mengumumkan penggalakkan penggunaan sepeda sebagai alat transportasi untuk pertama kalinya. Pada tahun yang sama The Measures to Prevent Global Warming menyatakan peran sepeda yang dipertimbangkan kembali sebagai gaya hidup baru. Pada tahun 2001, sebuah amandemen untuk undang-undang yang berkenaan dengan konstruksi jalan menetapkan kewajiban untuk membuat dan menyediakan jalur khusus sepeda pada jalan-jalan yang baru dibuat atau pada saat perbaikan dilakukan pada jalan raya yang banyak dilalui pengendara sepeda. Hal ini dirancang untuk memberi prioritas lebih tinggi kepada pengendara sepeda daripada sebelumnya, serta untuk menurunkan beban lingkungan secara keseluruhan yang diakibatkan oleh penggunaan mobil. Poin tersebut merupakan titik balik yang penting, karena pengelolaan jalan raya sebelumnya difokuskan kepada mobil, namun sekarang justru sebaliknya.

Bagaimanapun, tetap ada satu isu besar yang tidak bisa dihindari saat penggalangan pemakaian sepeda dilaksanakan di Jepang: jumlah sepeda yang dibiarkan begitu saja di tempat umum. Biasanya di area stasiun kereta, selain itu juga di area parkir pusat perbelanjaan, di jalan-jalan dan di trotoar tempat pejalan kaki. Sepeda - sepeda yang terbengkalai merupakan gangguan baru. Begitu banyaknya jumlah sepeda yang terbengkalai, sehingga mengganggu kelancaran arus pejalan kaki dan jalan raya. Mencoba untuk melewati sekumpulan sepeda yang terbengkalai di stasiun kereta, terasa seperti sedang berusaha untuk bernegosiasi tentang satu masalah yang cukup pelik. Pada tahun 2001, diperkirakan ada sekitar 540.000 buah sepeda yang terbengkalai di seluruh pelosok Jepang.

Dua puluh tahun yang lalu ada 990.000 sepeda yang ditinggalkan begitu saja di jalan-jalan, dan pemerintah setempat dipaksa untuk bertindak. Jumlah tempat parkir sepeda dinaikkan dari 500.000, buah pada 20 tahun sebelumnya, menjadi 3.750.000 buah saat ini. Hal tersebut telah mengurangi jumlah sepeda yang terbengkalai di tempat umum sampai dengan setengahnya. Pada kenyataannya Jepang memang terdepan dalam pembuatan tempat parkir sepeda. Namun demikian, naiknya harga tanah membuat pembangunan tempat parkir baru menjadi lebih sulit dan terbatas. Menyediakan area parkir baru bagi sepeda bukanlah hal mudah.
Bila pada satu sisi Jepang mencoba untuk mengedepankan rencana-rencana pemasyarakatan penggunaan sepeda, maka di sisi lain jumlah sepeda yang diparkir atau dibiarkan begitu saja di tempat-tempat umum masih harus dikurangi. Satu-satunya solusi bagi konflik yang ada ini adalah dengan sistem rental.

Warga dapat menikmati fasilitas rental ini dengan membayar iuran keanggotaan. Sepeda jenis standar ditaruh di tempat parkir di luar stasiun kereta. Para penyewa dapat menggunakan salah satu dari sepeda tersebut untuk pulang pada petang atau malam hari. Pada hari berikutnya mereka menggunakan sepeda tersebut ke stasiun dan mengembalikannya ke pusat penyewaan. Kemudian sepeda yang sama akan dapat digunakan oleh penyewa lainnya untuk pergi bekerja atau sekolah. Begitu seterusnya berjalan secara berkesinambungan. Karena banyak orang yang berbeda menggunakan sepeda pada saat yang berbeda, setiap sepeda memiliki 2 pengguna atau lebih, dan sistem ini dinilai sangat efisien. Kenaikan angka yang dilihat oleh pemerintah setempat di Jepang mencerminkan bahwa sistem rental yang diterapkan sangat berguna untuk mengurangi jumlah sepeda yang terlalu banyak di sekitar stasiun, dan juga mengurangi jumlah tempat parkir sepeda yang dibutuhkan.

Seperti halnya sistem rental sepeda, ada pula cara lain yang dipakai di tempat lain di Jepang untuk membuat lingkungan menjadi lebih kondusif bagi pengendara sepeda. Menteri Pertanahan, Infrastruktur & Transportasi telah merancang 19 kota & daerah model sebagai “eco cycle city”, di mana kota dan daerah tersebut membantu mendukung penggunaan kendaraan kayuh. Contoh nyata dari proyek ini adalah persiapan dari jaringan jalan utama yang memisahkan sepeda dengan pejalan kaki di Nagoya – Aichi dan di distrik Chiyoda serta distrik Chuo di Tokyo. Di daerah Takamatsu – Kanagawa, tempat untuk pengendara sepeda dibuat dengan cara mengurangi luas jalan bagi pengendara mobil.

Pada saat yang sama, berbagai eksperimen sosial dilakukan untuk memasukkan sepeda ke dalam rencana transportasi kota. Salah satu contohnya adalah percobaan di kota Matsuyama – Ehime, yang menggunakan fasilitas jalan yang telah ada. Selama satu bulan, sebagian jalur untuk trem digunakan di beberapa tempat digunakan untuk pengendara sepeda saja, dan di tempat lain pemisahan antara pengendara sepeda dengan pejalan kaki diatur dengan memberikan jam pemakaian jalur yang berbeda. Percobaan serupa ini akan berguna untuk menemukan cara terbaik mengimplementasikan gagasan “eco cycle city” di tiap daerah.

Kita semua sekarang hidup di era mobil. Tahun 1965 dikenal sebagai tahun pertama untuk mobil pribadi, dan sejak itu Jepang telah menjadi masyarakat mesin yang berkembang dengan sangat pesat dan cepat. Sebagai hasil, konstruksi jalan yang ada dikonsentrasikan untuk mobil, dan mobil telah menjadi titik utama kehidupan masyarakat. Saat ini hanya ada 0,6% dari jumlah total jalan yang diberikan secara ekslusif kepada pengendara sepeda. Di Belanda, negara yang memiliki budaya bersepeda paling hebat, rasio yang didapat adalah 8,6% - Jepang masih harus berjalan lebih jauh lagi. Bagaimanapun, terdapat pergerakan “bicology” (bike+ecology) yang muncul di pelosok Jepang, yang melawan masyarakat mobil dan menciptakan lebih banyak lagi “eco cycle – friendly city”.

Klarifikasi isu sepeda dikemukakan oleh Profesor Chikae Watanabe dari Fakultas Teknik Universitas Kyushu Tokai; “Masyarakat modern yang menggunakan mobil menghabiskan 40 tahun untuk berkembang, dan hal tersebut akan menyita banyak waktu untuk membalikkan situasi. Mengadaptasi penggunaan sepeda di Amerika & Eropa secara mentah mungkin tidak akan berhasil di Jepang karena perbedaan konteks. Akan lebih baik apabila kota dan daerah di Jepang mencari sendiri metode yang tepat untuk digunakan di masing-masing area. Harapan saya adalah bahwa kita masih bisa bergerak maju melebihi sistem rental sepeda yang sekarang dijalankan, ke arah sistem dengan banyak tempat parkir sepeda di mana warga dapat dengan leluasa meminjam sepeda dari satu tempat dan dikembalikan ke tempat yang berbeda. Dalam beberapa tahun belakangan ini kenaikan jumlah perusahaan kereta, kota dan desa telah memperlihatkan perhatian atas sistem ini. Warga Jepang tidak bermasalah dengan sepeda yang dianggap sebagai alat transportasi yang sudah memasyarakat.”

Kesadaran atas pemeliharaan lingkungan hidup di negara maju memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di negara berkembang seperti Indonesia. Namun tak ada salahnya bila kita mengadaptasikan beberapa hal positif yang dilakukan di negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Dengan mengambil inti pemecahan masalah yang ditempuh, kita juga bisa mulai menumbuhkan rasa memiliki atas lingkungan sekitar kita dan memulai pemeliharaannya dengan lebih serius.

Untuk mengejar hingga taraf yang sama atau mendekati memang sedikit mustahil, tapi menumbuhkan kesadaran akan keterkaitan kita dengan lingkungan dan alam adalah yang terpenting agar kita dapat menghindari tindakan – tindakan yang bersifat merusak dan mengeksploitasi alam.

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3


Description: Ekologi & Lingkungan Hidup: Budaya Bersepeda di Negara Maju, Cermin Perilaku yang Ramah Lingkungan Rating: 4.5 Reviewer: Menjaga Bumi ItemReviewed: Ekologi & Lingkungan Hidup: Budaya Bersepeda di Negara Maju, Cermin Perilaku yang Ramah Lingkungan

Nusa Tenggara


0 comments: